Saat kita sedang sendiri, kesepian,
dalam masalah, membutuhkan teman, lantas teringat dengan seseorang, berharap
banyak dia akan membantu, atau setidaknya mengusir sedikit gundah-gulana.
Apakah itu disebut cinta? Tentu saja. Tetapi kalau demikian, bukankah cinta
jadi tidak lebih dari seperangkat obat? Alat medis penyembuh? Selesai masalahnya, saat kita kembali semangat,
sembuh, maka persis seperti botol-botol obat, seseorang itu bisa segera
disingkirkan. Sementara, dong? Temporer? Juga tentu saja, kecuali kita selalu
sakit berkepanjangan, dan mulai mengalami ketergantungan dengan seseorang
tersebut. Jika demikian maka cinta jadi mirip nikotin, candu.
Saat kita ingin selalu bersamanya,
selalu ingin didekatnya, selalu ingin melihat wajahnya, senyumnya, nyengirnya,
bahkan gerakan tangan, gesture, bla-bl-bla. Ingin mendengar suaranya
(meski suaranya fals), tawanya (walau tawanya cempreng); apakah itu disebut
cinta? Tentu saja. Bagaimana mungkin bukan cinta? Tetapi kalau hanya demikian,
maka bawakan saja imitasi seseorang itu ke rumah, taruh seperti koleksi patung,
jika ingin mendengar tawanya, stel sedemikian rupa biar dia tertawa,
ingin melihat dia bicara, stel agar dia bicara. Bukankah hari ini sudah
banyak teknologi imitasi seperti ini? Apakah itu akan berlangsung sementara?
Boleh jadi, karena persis seperti kolektor yang memiliki koleksi benda antik,
seberapapun berharganya, cepat atau lambat rasa bosan akan tiba. Bisa sih
disiasati dengan jarang-jarang melihat koleksi tersebut, jarang-jarang bertemu
biar terus kangen dan rindu, aduh, kalau demikian, maka cinta jadi sesuatu yang
kontradiktif, bukankah tadi dibilang ingin selalu bersamanya.
Saat kita terpesona melihatnya,
kagum menatapnya, begitu hebat, keren, terlihat berbeda, cantik, gagah, dan
bla-bla-bla. Apakah itu disebut cinta? Bisa jadi. Tapi jika demikian cinta tak
lebih seperti pengidolaan, keterpesonaan. Jika demikian, solusinya mudah,
pasang saja posternya besar-besar di kamar. Jika kangen, tatap sambil
tersenyum. Taruh foto-fotonya di mana-mana. Selesai urusannya. Apakah ini
sementara? Temporer? Tentu saja. Saat idola baru yang lebih keren tiba, saat
sosok baru yang lebih hebat datang, maka idola lama akan tersingkirkan. Jika
demikian, maka cinta tak ubahnya seperti lagu pop, cepat datang cepat pergi.
Persis seperti anggota boyband di tahun 80-an, basi di tahun 90-an, dan anggota
boyband di tahun 2012, dijamin basi banget di tahun 2030.
Saat kita tergila-gila, selalu ingat
dengannya, tidak bisa tidur, tidak bisa makan, berpikir jangan-jangan kita
kehilangan akal sehat, apakah itu disebut cinta? Tentu saja. Tapi jika demikian
cinta, maka ia tak lebih dari simptom penyakit psikis? Sama persis seperti
penjahat yang jadi buronan, juga tidak bisa tidur, susah makan, dan terkadang
berpikir kenapa ia bisa kehilangan akal sehat menjadi penjahat. Sementara?
Temporer? Tentu saja. Waktu selalu bisa mengubur seluruh kesedihan.
Hampir kebanyakan orang akan bilang:
"Saya tidak pernah tahu kapan perasaan itu datang. Tiba-tiba sudah
hadirlah ia di hati." Ada sih yg jelas-jelas mengaku kalau dia cinta pada
pandangan pertama; sekali lihat, langsung berdentum hatinya. Tapi di luar itu,
meskipun benar-benar pada pandangan pertama, kita kebanyakan tidak tahu kapan
detik, menit, jam, atau harinya kapan semua mulai bersemi. Semua tiba-tiba
sudah terasa something happen in my heart.
Terlepas dari tidak tahunya kita
kapan perasaan itu muncul, kabar baiknya kita semua hampir bisa menjelaskan
muasal kenapanya. Ada yg jatuh cinta karena seseorang itu perhatian, seseorang
itu cantik, seseorang itu dewasa, rasa kagum, membutuhkan, senang bersamanya,
nyambung, senasib, dan seterusnya, dan seterusnya. Dan di antara definisi
kenapa tersebut, ada yang segera tahu persis kalau itu sungguh cinta, ada juga
yang berkutat begitu lama memilah-milah, mencoba mencari penjelasan yg akan
membuatnya nyaman dan yakin, ada juga yang dalam situasi terus-menerus justeru
tdk tahu atau tidak menyadarinya kalau semua itu cinta.
Cinta sungguh memiliki begitu banyak
pintu untuk datang. Kebanyakan dari "mata", mungkin 90%. Sisanya dari
"telinga". Dari bacaan (membaca sesuatu darinya), dari kebersamaan,
dari cerita orang lain. Dari mana saja. Lantas otak akan mengolahnya,
mendefinisikannya menjadi: sayang, kagum, terpesona, dekat, cantik, ganteng,
cerdas, baik, lucu, dan seterusnya. Kemudian hati akan menjadi pabrik terakhir
yang menentukan: "ya" atau "tidak". Selesai? Tidak juga,
masih ada ruang buat prinsip-prinsip, pemahaman hidup, pengalaman (diri sendiri
atau belajar dari pengalaman orang lain) untuk menilai apakah akan menerima
kesimpulan hati atau tidak.
Ini proses cinta kebanyakan. Tetapi
orang-orang yang paham, maka pintu datangnya cinta bukan sekadar dari mata atau
tampilan fisik saja. Proses mereka terbalik, mulai dari memiliki prinsip-prinsip,
pemahaman-pemahaman yang baik, lantas hati dan otak akan mengolahnya, baru
terakhir mata, telinga dan panca indera menjadi simbolisasi cinta tersebut.
Tetapi apapun pintu dan prosesnya,
jika akhirnya semua fase itu terlewati masih ada satu hal penting lainnya yg
menghadang. Yaitu kesementaraan. Temporer. Apakah cinta itu perasaan yang
bersifat temporer? Kabar buruknya ya. Jangan berdebat soal ini. Sehebat apapun
cinta kita, pasti takluk oleh waktu. Tapi kabar baiknya, meski ia bersifat
sementara, kita selalu memiliki kesempatan untuk membuatnya ‘abadi’,
everlasting. Bagaimana caranya? Dengan pemahaman-pemahaman yang baik. Ada
rambu-rambu yang harus dipatuhi, ada nilai-nilai yang harus dihormati. Pasangan
yang memiliki hal tersebut, mereka bisa menjadikan perasaan cinta utuh
semuanya. Maka abadilah perasaan itu.
Terakhir, saat kita selalu
termotivasi untuk terus berbuat baik hari demi hari, memberikan semangat
positif, terus memperbaiki diri setiap kali mengingatnya, apakah itu juga
disebut cinta? Yaps, inilah hakikat cinta. Saat perasaan itu menjadi energi
kebaikan. Dan itu tidak berarti kita harus selalu menyampaikan kalimat itu.
Orang-orang yang menyimpan perasaannya, menjaga kehormatan hatinya, dan
menjadikan perasaan tersebut sebagai energi memperbaiki diri, maka cinta
menjelma menjadi banyak kebaikan.
Apakah itu sementara? Memang
sementara, nah, semangat untuk terus memperbaiki diri karena cinta tersebut
akan menjadi jaminan keabadiannya. Percayalah, bagi orang-orang yang memiliki
pemahaman yang baik, cinta selalu datang di saat yang tepat, momen yang tepat,
dan orang yang tepat, semoga semua orang memiliki kesempatan merasakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar